Alkisah, ada seorang yang berasal dari Martapura yang suka mengaji kitab-kitab ilmu agama Islam. Selama mengaji, dia tidak memikirkan kebutuhan hidup keluarganya. Yang penting baginya hanyalah menuntut ilmu. Selain menuntut ilmu, dia juga sangat suka memulut burung. Dari kebiasaannya memulut burung tersebut, membuat keluarganya kesal. Keluarganya meminta agar ia mencari pekerjaan, jangan hanya melakukan hal-hal kesukaannya tanpa memikirkan keluarga.


Setelah mendengar permintaan keluarganya, timbul dalam dirinya niatan untuk mencari pekerjaan. Pada awalnya, dia bersama dengan muridnya mencari pekerjaan di kampung-kampung terdekat. Namun setelah mencari pekerjaan selama beberapa hari, dia akhirnya kembali pulang. Sekian lama tinggal di kampung halaman, dia atau guru (menurut panggilan orang kampung) beserta muridnya bermaksud pergi merantau ke tempat yang jauh. Mereka hanya membawa pakaian seadanya, kitab suci, dan alat memulut burung. Selama di perjalanan, mereka selalu melakukan sholat berjamaah.

Pada suatu hari mereka tiba di kampung yang cukup ramai. Mereka disambut baik oleh para penduduk. Setelah beberapa hari tinggal, mereka merasa bahwa kampung tersebut cocok dijadikan tempat untuk menetap. Untuk itu mereka berjalan-jalan ke penjuru kampung untuk menentukan kira-kira apa pekerjaan yang cocok dengan mereka. Dalam perjalanan tersebut mereka sampai di hutan yang sangat lebat dengan tanah yang subur. Setelah berjalan-jalan ke hutan mereka menanyakan kepada penduduk tentang hutan yang mereka lihat tadi. Penduduk kampung menginformasikan bahwa hutan itu bernama Tanjungan atau Tanjung Diwa dan orang kampung tidak berani ke hutan itu karena dihuni orang halus (ghaib). Setelah mereka menyampaikan niat untuk memanfaatkan hutan itu, penduduk tidak keberatan asal mereka berani.

Sejak saat itu, guru dan muridnya merambah hutan. Mereka sangat senang karena tempat itu sangat subur dan banyak dihuni berbagai macam burung. Sambil berkebun atau bersawah, mereka menangkap ikan dan burung. Untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan, guru dengan dibantu orang kampung membuat perahu. Guru sangat memelihara perahunya sehingga setiap selesai melaut perahu itu ditarik ke darat. guru dan muridnya bekerja sangat tekun. Seolah-olah mereka bersaing untuk mendapatkan hasil. Hasil kerja mereka mulai tampak. Padi, pisang, ubi, dan kelapa mulai berbuah. Pada mulanya keadaan aman-aman saja. Tetapi, kemudian babi hutan mulai datang. Untuk mengatasi serangan babi hutan, tanaman diberi pagar. Namun, usaha itu tidak berhasil. Akhirnya, guru menggores tanah di sekeliling tanamannya. Goresan itu digali dan makin lama lubang itu menjadi parit yang besar. Lalu parit itu makin lama menjadi laut akibat dihempas gelombang. Akhirnya, tempat itu terpisah menjadi sebuah pulau yang aman dari serbuan babi.setelah sekian lama merantau, guru dan muridnya bermaksud pulang ke Martapura. Ketika tiba di kampung halaman, guru jatuh sakit. Sebelum meninggal dunia, dia berpesan agar jasatnya dimakamkan di kebun miliknya, di Tanjung Diwa.

Amanat ini dilaksanakan oleh keluarganya.jenazah guru dibawa dari martapura ke Tanjung Diwa. Orang yang mengantar jenazahnya sangat banyak. Saat keranda jenazah dimasukkan ke perahu untuk diseberangkan, tiba-tiba laut yang bergelombang menjadi tenang. Dengan upacara yang khidmat, jenazah guru dimakamkan. Pada nisannya tertulis Langlang Silaut. Nama itu diperoleh akibat kegagahannya melawan ganasnya laut.

Pada akhirnya diketahui bahwa guru itu adalah salah seorang wali Allah. Hal ini berdasarkan suatu cerita Haji Nawawi yang lama berada di Mekah. Menurutnya ada tiga wali di tempat sekitar itu, yaitu di Tambang Ulang, Tabunio, dan Tanjung Diwa.

Legenda Langlang Silaut mengisahkan mengenai seseorang yang awalnya terlalu mementingkan kehidupan akhirat, namun pada akhirnya menyadari akan pentingnya memperhatikan kehidupan dunia. Di awal cerita dikisahkan bahwa guru selalu mengaji kitab-kitab. Kalau sudah mengaji, dia sama sekali tidak memikirkan kehidupan keluarganya. Namun, akhirnya dia sadar sehingga tergerak hatinya untuk merantau mencari pekerjaan. Ternyata, di perantauan dia cukup berhasil.

Alur cerita dalam tema bahwa hidup yang hanya mementingkan kehidupan akhirat tidaklah baik. Dalam hidup, kepentingan dunia dan kepentingan akhirat harus seimbang. Terlalu mementingkan salah satu dari kedua hal itu merupakan perbuatan yang tidak baik. 

Hidup harus tekun bekerja dengan ketaatan beribadah, sekalipun sibuk dalam usaha dunia jangan melupakan kewajiban akhirat (sujud kepada Allah).

Sumber: Kisah Rakyat Banjar

Post a Comment

Previous Post Next Post